Bongkahan batu besar, yang apabila dilihat sekilas mirip kepala seorang nenek-nenek. Batu tersebut menjadi mitos dan sekaligus simbol di Desa Tanjung Pura di Dusun Tanjung Tedung, Kecamatan Sungai Selan, yang merupakan desa paling ujung di Kabupaten Bangka Tengah (Bateng).
Batu tersebut, dikenal warga setempat dengan sebutan batu nenek. Namun, sayang keberadaan batu ini terancam karena abrasi air pantai. Maklum batu ini, berada tepat di bibir pantai, yang tidak jauh di lokasi yang rencana akan dibangun pelabuhan skala internasional.
Berdasarkan cerita turun temurun warga setempat, asal mula nama desa mereka erat hubungannya dengan batu tersebut.
Pada zaman dahulu, di daerah tersebut hidup sepasang suami istri, yang dikenal bernama Akek Antak dan Nek Antak. Kedua pasangan suami istri ini, tinggal di Desa Permis tetapi memiliki Umeh ( ladang-red) di daerah Dusun Tanjung Tedung.
Ketika itu, Akek Antak dikenal seorang tokoh yang disebut-sebut, memiliki ilmu kanuragan tinggi. Saat panen padi, dan padinya di jemur di rumah pondoknya seringkali hilang.
Kesal hasil panennya hilang, akhirnya Akek Antak memanggil peliharaannya berupa ular Tedung. Dan berpesan apabila ada yang mengambil padi di jemuran dan mengunakan baju biru, agar dipatuk saja.
Kemudian dia berangkat ke Permis untuk melihat kebunnya disana. Saat itu di Dusun Tanjung Tedung akan turun hujan.
Istri Akek Antak, yang dikenal bernama Nek Antak sedang berladang. Melihat padi sedang yang dijemur dirinya berinisiatif mengangkat jemurannya.
Naas dirinya yang saat itu, masih mengenakan baju biru untuk berladang. Ular Tedung yang berada tidak jauh dari penjemuran padi segera melaksanakan perintah tuannya, dan mematuk sehingga sang nenekpun tewas.
Singkat cerita, Akek Antak yang berada di Permis pulang kek dusun Tanjung Tedung. Betapa kagetnya, Akek melihat istri tercinta telah meninggal dunia dan menjadi batu.
Kemudian dirinya lalu melampiaskan kekesalannya dengan memotong-motong tubuh ular peliharaannya. Begitulah cerita, yang beredar di daerah tersebut, sehinggga daerah itu dinamakan Tanjung Tedung yang sekarang menjadi Desa Tanjung Pura. Nama desa diambil karena berada di Semenanjung dan nama tedung diambil dari nama ular Tedung.
Ketua BPD Desa Mastari mengatakan Batu nenek ini, rencananya akan dilestarikan dan dipugar.
"Rencana kita, batu ini, mau kita pugar, dan kita pelihara, sebagai simbol desa. Batu ini dulunya masih bagus, bahkan selendangnya juga masih ada. Tetapi mulai terkikis karena abrasi pantai. Maka rencananya mau kita pugar," imbuhnya.
Batu tersebut, dikenal warga setempat dengan sebutan batu nenek. Namun, sayang keberadaan batu ini terancam karena abrasi air pantai. Maklum batu ini, berada tepat di bibir pantai, yang tidak jauh di lokasi yang rencana akan dibangun pelabuhan skala internasional.
Berdasarkan cerita turun temurun warga setempat, asal mula nama desa mereka erat hubungannya dengan batu tersebut.
Pada zaman dahulu, di daerah tersebut hidup sepasang suami istri, yang dikenal bernama Akek Antak dan Nek Antak. Kedua pasangan suami istri ini, tinggal di Desa Permis tetapi memiliki Umeh ( ladang-red) di daerah Dusun Tanjung Tedung.
Ketika itu, Akek Antak dikenal seorang tokoh yang disebut-sebut, memiliki ilmu kanuragan tinggi. Saat panen padi, dan padinya di jemur di rumah pondoknya seringkali hilang.
Kesal hasil panennya hilang, akhirnya Akek Antak memanggil peliharaannya berupa ular Tedung. Dan berpesan apabila ada yang mengambil padi di jemuran dan mengunakan baju biru, agar dipatuk saja.
Kemudian dia berangkat ke Permis untuk melihat kebunnya disana. Saat itu di Dusun Tanjung Tedung akan turun hujan.
Istri Akek Antak, yang dikenal bernama Nek Antak sedang berladang. Melihat padi sedang yang dijemur dirinya berinisiatif mengangkat jemurannya.
Naas dirinya yang saat itu, masih mengenakan baju biru untuk berladang. Ular Tedung yang berada tidak jauh dari penjemuran padi segera melaksanakan perintah tuannya, dan mematuk sehingga sang nenekpun tewas.
Singkat cerita, Akek Antak yang berada di Permis pulang kek dusun Tanjung Tedung. Betapa kagetnya, Akek melihat istri tercinta telah meninggal dunia dan menjadi batu.
Kemudian dirinya lalu melampiaskan kekesalannya dengan memotong-motong tubuh ular peliharaannya. Begitulah cerita, yang beredar di daerah tersebut, sehinggga daerah itu dinamakan Tanjung Tedung yang sekarang menjadi Desa Tanjung Pura. Nama desa diambil karena berada di Semenanjung dan nama tedung diambil dari nama ular Tedung.
Ketua BPD Desa Mastari mengatakan Batu nenek ini, rencananya akan dilestarikan dan dipugar.
"Rencana kita, batu ini, mau kita pugar, dan kita pelihara, sebagai simbol desa. Batu ini dulunya masih bagus, bahkan selendangnya juga masih ada. Tetapi mulai terkikis karena abrasi pantai. Maka rencananya mau kita pugar," imbuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar