Kisah Semangat Ibu Korban 1965 Besarkan Anak Hingga Jadi Doktor Di Amerika


Kisah Semangat Ibu Korban 1965 Besarkan Anak Hingga Jadi Doktor Di Amerika- "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tutwuri Handayani". Pepatah dan pedoman itulah yang menjadi pegangan hidup sosok Ibu, sebut saja Bu Saras (bukan nama sebenarnya) dalam berjuang membesarkan anaknya hingga sukses. Salah satu anaknya berhasil meraih gelar doktor di bidang pertanian dan menjadi salah satu gurubesar di salah satu universitas negeri di Jawa Barat.

Janda berumur 77 tahun ini tinggal sendiri di Muntilan, Magelang, Jateng. Tahun 1966, Bu Saras ditinggal pergi oleh Pak Surat suaminya yang hilang diculik oleh tentara. Pak Surat dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia.

Penculikan itu terjadi di Desa Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan, Blitar, Jatim tepatnya di rumah Dinas Mese Nurma School yang dekat dengan rumah kelahiran Bung Karno. Saat itu, Bu Saras ikut suaminya di rumah dinas Mese Nurma School (Asrama Guru zaman Belanda) yang berprofesi sebagai tenaga pendidik.
Saat itu, perkawinannya dengan suami yang masih seumur jagung dikaruniai dua anak. Sebut saja Runi yang masih berumur 2,5 tahun dan Wawan yang masih berumur sekitar 1 tahun.

"Saya tahu siapa orang-orang yang menculik suami saya. Tapi kenapa yah orang-orang seperti kita kok ikut dijadikan korban politik. Kalau sekarang saya mau menuntut tidak mungkin. Soalnya presidenya sekarang kan Pak Soesilo (SBY) ayah mertuanya kan juga dulu orangnya Pak Harto (Kolonel Sarwo Edhie) yang suruh menghabisi numpas orang-orang yang belum tentu benar-benar terlibat PKI seperti suami saya," ungkap ibu yang berbadan kurus dan berkacamata kelahiran Muntilan, Magelang itu saat ditemui merdeka.com Sabtu(22/12) di rumahnya.

Hari demi hari, hingga tahun demi tahun lewat, tidak ada kabar dari suaminya yang diculik. Kesedihan melanda dirinya selama bertahun-tahun. Namun, dengan tekad kuat, dirinya hijrah ke Muntilan, Magelang untuk membesarkan kedua anaknya di desa kelahirannya.

Dengan semangat kuat, Bu Saras meninggalkan Kota Blitar dan mengubur semua kenangan pahit. Beberapa kenangan dari suaminya seperti buku-buku beraliran kiri tetap dibawanya. Bu Saras dulu pernah aktif di organisasi Wanita Demokrat yang merupakan underbow dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI).

Di rumahnya masih berderet buku karangan Pramudya Ananta Toer berjudul 'Anak Semua Bangsa', 'Jejak Langkah', 'Trilogi dan Bumi Manusia', dan 'Sang Pemula'. Ada juga buku-buku kenangan dari Presiden Soekarno berjudul 'Sarinah' dan 'Di bawah Bendera Revolusi jilid I. Buku itu merupakan buku kenangan saat dirinya sering berkumpul aktif di organisasi Wanita Demokrat berdiskusi di Rumah Joglo tempat Bung Karno tinggal di Blitar, Jatim.

Secara kebetulan tahun 1967, Saras diminta untuk mengajar di SMP Negeri 1 Muntilan sebagai Guru Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP). Kemudian pada tahun 1969 ditarik jadi guru SMA Negeri 1 Muntilan dari tahun 1976-1982 yang kebetulan saat itu berada di dua lokasi di Blabak dan Muntilan.

"Pada tahun 1978 pendidikan Muhammadiyah mendirikan SMA Muhammadiyah 1 Bambu Runcing. Selain itu sejak pindah di Muntilan saya sudah membuka kursus menjahit sebagai biaya tambahan untuk membiayai pendidikan anak saya," ungkap Bu Saras.

Selama membesarkan anak, dia tidak pernah memaksa, menekan atau mendikte anaknya dengan keras. Hingga akhirnya pada tahun 1995, dirinya masuk masa pensiun dan saat itu anak gadis pertamanya, Runi telah berhasil lulus dan diikutkan penerimaan mahasiswa lewat PMDK (Penelusuran Mahasiwa dengan Bakat dan Minat) melalui sekolah). Kebetulan Runi selalu menjadi rangking di urutan pertama dan kedua di sekolahnya baik dibangku sekolah SMP maupun SMA saat itu.

"Stigma sejarah bapaknya soal dikait-kaitkan dan diculik akibat tudingan bahwa terlibat PKI membuat saya mendidik anak saya untuk tidak hanya ingin menjadi pegawai negeri. Jika belajarpun harus dengan kesadaran sendiri,kalau belajar dengan sendiri. Sekolah kemana juga pilihan mereka sendiri.

"Akhirnya masih saya ingat. Salah satu guru yaitu Pak Pardi begitu anak saya diterima langsung mengucapkan selamat kepada saya. Akhirnya anak saya yang pertama itupun memulai kuliahnya di jurusan teknologi pangan dan gizi. Bahkan saat duduk di tingkat dua, karena prestasinya menjadi asisten dosen,"ungkap Bu Saras.

Kemudian, dengan dorongan dan motivasi Bu Saras, Mbak Runi menempuh karirnya sebagai asisten dosen di PTN di Bandung itu. Tudingan stigma PKI yang diberikan kepada masyarakat terhadap dirinya dan keluarganya dia jadikan sebagai motivasi untuk bangkit walau hanya dengan hidup sendiri membesarkan kedua anaknya di Muntilan, Magelang.

Runi bisa menempuh pendidikan di Universitas ITAKA Cornel University New York. Dilanjutkan ke Massachusetts untuk disertasi dan Doktor. Runi menjadi kandidat guru besar dan dikukuhkan pada tahun 2000. Cuma Bu Saras meminta nama perguruan tinggi dan nama anaknya disamarkan. Dia takut turunan PKI masih dipermasalahkan.

"Saya bangga anak saya bisa menempuh karir dan prestasinya. Padahal salah satu calon kandidat guru besar di kampusnya itu harus menjalani ujian oleh lima negara ASEAN, yaitu negara Brunei, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi dan Manila. Secara resmi anak saya alhamdulillah lulus dan menjadi guru besar teknologi pangan dan dikukuhkan pada tahun 2012. Saya datang saat pengukuhanya," ungkap Bu Saras.

Bagi Bu Saras, almarhumah ibu kandungnya yang menginspirasi dirinya untuk selalu berjuang membesarkan anak dan berprestasi. Walaupun ibunya buta huruf dan tidak sekolah, namun dengan tekad kuad dan semangat yang besar meski dalam kondisi ekonomi pas-pasan maka akan ada pertolongan Tuhan selama dibarengi dengan niat dan doa baik.

"Anak-anak dapat selesai belajarnya. Masa depanmu kau tentukan sendiri. Kalau tidak sungguh-sungguh belajar maka kamu akan terlantar. Kalau dulu ibu saya ibu tidak sekolah dan buta huruf tapi pikiranya maju. Waktu dulu mau kuliahkan sekolah ragu tapi atas dorongan ibu saya soal biaya rezeki Gusti Allah yang ngatur. Kalau ada anak yang tidak belajar yang marah ibu saya," jelasnya.

Bu Saras yang mengidolakan tokoh salah satu tokoh wanita Indonesia Tri Moerti ini juga memberikan pesan, sebagai sosok seorang ibu saat ini, tantangan dan halangan malah semakin berat. Maka penting bagi dirinya untuk ibu-ibu sekarang memegang pedoman yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantoro; Ing Ngarso Sung Tulodho Ing Madyo Mangunkarso, Tutwuri Handayani.

"Sebagai ibu harus bisa menjadi pendidik yang baik. Harus dapat bangkitkan inisiatif dan inovasi dari diri anak-anak. Kalau pendidik memberikan pendidikan harus jadi tauladan dan contoh. Tutwuri Handayani. Mengikuti, mengawasi segala kegiatan anak, kalau anak melenceng diluruskan. Selain itu ciptakanlah di lingkungan keluarga Karya, Cipta, Rasa dan Karsa," pesannya.

Artikel Menarik Lainnya



0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog