Pengalaman terjebak oleh status facebook sudah pernah saya alami beberapa kali. Kadang saya sebagai pemasang status facebook yang terjebak. Kadang pula saya yang terjebak oleh status facebook teman. Apakah gerangan jebakan yang dimaksud? Mari saya ceritakan lebih detail.
Suatu waktu saya membuat status seperti kebanyakan orang yang ingin curhat di facebook.
“Inilah kesulitanku tiap kali membuat jadwal penyuluhan. Hunting penceramahnya siapaaa??? Action berbasis bukan needs from user. Planning bukan berbasis bottom up, ya beginilah…. Main todong sana-sini…. Masih untung bisa pakai tangan orang lain yang punya wewenang. Apapun itu, di tengah segala kesempitan, masih berharap kemanfaatan dari kegiatan promotif preventif ini. Semoga berkah, amin.”
Ternyata, ada komentar masuk yang cukup mengagetkan. Komentarnya amat sangat menjebak saya untuk emosi. Itu karena si pemberi komentar telah terjebak pada situasi dimana seperti ia memakaikan baju kepada saya dengan ukurannya dia. Begini komentarnya :
“diisi sendiri nek org laen g mau.”
Mengapa saya bilang terjebak? Karena si pemberi komentar bekerja di Dinas Kesehatan yang memiliki banyak program kerja “penyuluhan”. Di kantornya “penyuluhan” itu dianggarkan segala macam pembiayaannya. Jangankan untuk honor penceramahnya, untuk makanan dan minuman peserta ceramah saja dianggarkan. Rupanya melihat kata “penyuluhan” dalam status saya langsung menimbulkan persepsi “penyuluhan” yang sama persis kondisinya dengan “penyuluhan” di kantornya. Dia lupa bahwa saya bekerja di Rumah Sakit yang memberi sifat dan warna berbeda terhadap kata “penyuluhan”.
Di kantor saya penyuluhan hanya kegiatan penggembira fakultatif di antara kegiatan kuratif rehabilitatif. Artinya bisa dilaksanakan, tidak dilaksanakan pun tidak apa-apa. Dilaksanakan atau tidak, tidak mempengaruhi anggaran sama sekali. Karena penyuluhan kami tidak membutuhkan pengeluaran biaya, bahkan untuk si penceramah. Sehingga posisi saya sebagai petugas yang mengkoordinir penyuluhan seringbingung. Mencari penceramah yang mau meluangkan waktu dan pikirannya tanpa diberi honor, lumayan sulit. Mendapati penceramah yang menolak dan mengabaikan penyuluhan sudah biasa terjadi.
Maka meledaklah emosi saya,
“Mosok sewulan ping songo tak isi kabeeeh. Pengunjunge bosen to sen sen..”
Dengan berupaya memberi penjelasan kepada si pemberi komentar agar “penyuluhan” saya tidak sama dengan “penyuluhan”nya. Saya kembali menulis :
“Penyuluhan rutin tiap selasa dan kamis. Oktober ini total ada 9 kali penyuluhan. Saya sudah nyempil satu sbg penceramah di situ. Masa harus kesembilannya diembat saya semua?”
Celakanya si pemberi komentar kok tidak bisa menerima pembelaan diri saya. Alih-alih minta maaf, malah kian menyudutkan saya dengan “penyuluhan” versi kantornya.
“y gpp.situ k bag penyuluhan.ud resiko klo dpa nya dt4 njenengan,gaweane drampungi.meskipun yg nglakoni org lain,ttp aja tetek bengek ursn admin/materi penyuluhn jd tgjwb njenengan.lgpl sasaran penyul beda2 k”
Saya pun jadi emosi lagi. Saya makin bersemangat membuat dia tahu apa “penyuluhan” yang sebenarnya.
“halo? sejak kpn mba indah pny dpa, syg? tanya ur husband. baru koment. ok, darling?”
Akhirnya dia melunak.
“g punya mlh nyante,g kejar target.brati tgl leadingnya sp gt.
wah,jgn serius2 amat bu,nanti cpt tua lho!
kjaan tu dbikin nyante aj,tp ttp tselesaikn,”
Begitu pula dengan saya.
“Nda serius2 amat de, cuma berbagi keluh sedikit dg wall di fb. Ha.ha…”
***
Adapula kisah saya sebagai pemasang status facebook yang terjebak oleh status saya sendiri. Di dinding saya menulis begini :
“Kondisi org b’beda2. So,jgn pernah m’hakimi org dg standar yg qt pnya. contoh : “lho kok dia ga bs gitu,aq aja bs.” Krn hny qt yg tau kondisi qt msg2.”
Rupa-rupanya ada seorang teman facebook yang merasa tersindir dengan status tersebut karena baru beberapa waktu memberi saran kepada saya. Ia menanggapi,
“ya berusaha dulu lah bun, kan belum nyoba. Ya kan???”
Saya langsung tanggap dan menangkap rasa “ketidakenakan” pada dirinya, maka saya coba menetralkannya menjadi berikut,
“sdh dicoba,mah. its okay. peace! V_’”
Namun terlanjur dia merasa tersindir hingga meng-sms saya dan meminta agar kali lain bila ada hal-hal yang kurang berkenan atasnya, langsung disampaikan padanya saja. Jangan dengan sindiran lewat facebook. Say pun mencoba berkilah bahwa staus itu bukan ditujukan padanya tetapi untuk semua orang termasuk say sendiri. Tetapi dia tidak percaya. Sejak saat itu hubungan kamipun merenggang. Kali ini saya terjebak oleh status yang saya buat sendiri.
Berkaca dari 2 kejadian itu, saya selalu berhati-hati jika ingin memberi komentar pada status yang amat menarik hati untuk dikomentari. Saya tak ingin seperti memakaikan baju kepada orang lain dengan ukuran badan saya. Sebab ukuran tiap orang berbeda-beda. Kalau sekedar celoteh berbalut cndaan tidak mengapa. Yang disesalkan bila komentar berbau menyalahkan atau mendikte atau memvonis orang, itu semua sungguh terlalu.
Nah, apakah teman-teman Kompasiana juga pernah mengalami kejadian serupa?
Salam Hati-hati.
0 komentar:
Posting Komentar